Penulis / NIM
INDRAWATY BOTAWE / 271409167
Program Studi
S1 - ILMU HUKUM
Pembimbing 1 / NIDN
Dr. NUR MOHAMMAD KASIM, S.Ag, MH / 0008027607
Pembimbing 2 / NIDN
WENY ALMORAVID DUNGGA, SH., MH / 0022056806
Abstrak
Indrawaty Botawe, Nim 271409167."AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974.Skripsi, program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I Ibu Dr. Nur M. Kasim S.Ag.,MH. Pembimbing II Bapak Wenny Almoravid Dungga, SH.,MH
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Dengan berbagai alas an pembenaran, perkawinan dilakukan berbagai model seperti kawin bawah lari, kawin kontrak hingga perkawinan yang popular di masyarakat, yaitu kawin sirri.Perkawinan ini dikenal dengan istilah "Kawin bawahtangan", yaitu perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama dan tidak dicatatkan di kantor Pegawai Pencatat Nikah (KUA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan kawin sirri serta akibat hukum yang ditimbulkan terhadap kedudukan anak dalam perspektif Hukum Islam dan Undang-undang No.1 tahun 1974.Metode Penelitian yang digunakan adalah PenelitianYuridisNormatif, yaitu dengan menggambarkan dan menganalisa masalah yang ada dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia.
Kedudukan Perkawinan Sirri dalam Perspektif Hukum Islam adalah perkawinan yang tidak sah, karena tidak memenuhi rukun dan syarat.Sedangkan Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 yaitu dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, kawin sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama (rukun dan syaratnya), juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, kawin sirri adalah perkawinan yang tidak mempunyai kekuatanhukum.
Ketentuan Hukum Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, membuka peluang bagi anak luar kawin untuk dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya.Pasal tersebut yang semula berbunyi, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", harus yang dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan /atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".
Kata Kunci :Perkawinan Sirri, Hukum Islam, Undang-undang No.1 Tahun 1974, Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
Download berkas