Penulis / NIM
SUPRIYADI A ARIEF / 271412001
Program Studi
S1 - ILMU HUKUM
Pembimbing 1 / NIDN
Prof. Dr. JOHAN JASIN, SH., MH / 0025065406
Pembimbing 2 / NIDN
BAYU LESMANA, SH, MH / 0002037902
Abstrak
Pemeriksaan Anggota DPR dalam proses perkara Pidana harus mendapatkan izin tertulis Presiden yang merupakan isi pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah dirubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014.
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 dalam perspektif asas Persamaan di Hadapan Hukum serta Implikasi Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 terhadap proses penegakkan hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan yuridis-normatif. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa pemindahan persyaratan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan kepada Presiden bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum serta dalam pemerintahan dan sistem ketatanegaraan Indonesia tidak pernah mengenal prinsip mengawasi dan mengimbangi dalam rezim perizinan masalah hukum. Diperlukan adanya perlakuan yang berbeda untuk menjaga independensi dan imparsialitas lembaga negara dan pejabat negara, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 terkait izin pemeriksaan Anggota DPR mengaburkan asas/unsur dalam penegakkan hukum di Indonesia, yakni yuridis (kepastian hukum), sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).
Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi Pemeriksaan Anggota
DPR dan Izin Tertulis Presiden.
Download berkas